PANGERAN KATON
Pangeran Katon artinya Tuhan Yang Nampak (Wujud) dan dapat dilihat dengan mata. Di Nusantara orang tua juga dianggap sebagai pangeran katon karena tak ada analogi yang tepat yang dapat membuktikan kasih-sayang Tuhan yang konon tanpa syarat kecuali kasih-sayang orangtua pada anaknya.
Pangeran Katon atau Tuhan yang tampak dalam konsep Ajaran Makrifat Pangeran Katon lebih mengarah pada pengertian mengenai kebersatuan manusia dengan cahaya dan sifat-sifat ketuhanan. Dan bukan bersatu dengan Dzat Tuhan atau malah merasa menjadi Tuhan.
Allah Mobah Jroning Ambegan
Sebagaimana sifat angin (udara) yang dapat meresap masuk ke dalam tubuh manusia, akan tetapi, manusia tetaplah manusia dan bukan angin.
Dan tentu saja, jika yang anda cari dan ingin anda temui adalah Dzat Tuhan, Maka sampai ke ujung dunia sekalipun. Manusia tidak akan bisa bertemu denganNya.
Sekedar sebagai gambaran mengenai perbedaan antara Dzat Tuhan dengan Dzat Makhluk itu mudahnya adalah begini. Saat anda berimajinasi mengenai bentuk sesuatu, (bunga misalnya) Di dalam pikiran anda. Maka, anda tentu sepakat bahwa wujud bunga itu ada, tapi dia hanya berada di alam angan-angan dari pikiran anda. Yang tentu saja Dzatnya berbeda antara dzat bunga yang ada di dalam pikiran anda dengan Dzat anda sebagai manusia yang memiliki angan-angan tersebut.
Dengan kata lain, Dzat makhluk itu tidak dapat disejajarkan dan dibandingkan dengan Dzat Tuhan, Karena memang tidak sebanding dan memang tidak dapat diperbandingkan.
BAPA BIYUNG
Bapa jadi sebab kelahiran, karena itu wajib kita tinggikan dari segala sesuatu yang berkedudukan tinggi.
Ibu jadi jalan kelahiran, karena itu wajib kita muliakan dari segala sesuatu yang mulia.
Diri jadi tempat kelahiran, karena itu wajib kita hargai dari segala sesuatu yang berharga.
Ketiganya itulah yang disebut Pangeran Katon.
Ketiganya itulah yang wajib kita sujud.
INGSUN SEJATI, SANG PANGERAN KATON
Sejatine Ingsun, Ingsun Sejati.
Sang Pangeran Katon.
Ingsun tajalining Dzat kang Maha Suci, kang murba amisesa, kang kuwasa angandika Kun Fayakun mandi sak ucap ingsun, dadi sak ciptaningsun, katurutan sak karsaningsun, kasembadan sak sedyaningsun karana saka kodratingsun.
Ingsun Dzating manungsa sejati, saiki eling besuk ya eling.
Saningmaya araning Muhammad, Sirkumaya araningsun, Sir Dzat dadi sak sirku, yaiku sejatining manungso, urip tan kena ing pati, langgeng tan keno owah gingsir ing kahanan jati.
DOA PENGERAN KATON
Sebuah mukjizat dan kekuatan super supra natural maha dahsyat, itulah yang terkandung dalam Do'a kedua Orang Tua kepada anaknya, sehingga mampu mengubah sesuatu yg mustahil menjadi real, bahkan ketika terbelit masalah sesulit apapun itu.
Keridhoan Alloh tergantung pula pada keridhoan Orang Tua, sehingga orang jawa bilang Wong Tuo iku Pengeran kang katon yang artinya Orang Tua itu Tuhan yang kelihatan" yang maksudnya doa Orang Tua kepada anaknya itu sangat mustajab, tanpa penghalang sama sekali, terlebih apabila antara orang tua dan anak saling berjauhan jarak.
Sehingga jangan pernah lupa bahwa semua kesuksexan yang kita peroleh saat ini adalah tidak terlepas dari campur tangan kedua Orang Tua yang selalu berdoa siang dan malam, tidak kenal bosan dan lelah.
DOA PANGERAN KATON MENJADI BUMERANG
Akan tetapi jangan sampai kemustajaban do'a Orang tua justru menjadi bumerang, menjadi adzab dan laknat bagi kita sendiri, seperti yang telah terjadi pd Juraij dan atau Alqomah di zaman Rosululloh.
Juraij adalah seorang ahli ibadah, tp hanya karena tidak menyahuti panggilan Ibunya, karena memang dia sedang sholat sunnah, sehingga Ibunya merasa kesal dan lalu menyumpahi Juraij tidak akan mati sebelum digoda pelacur.
Doa Ibu didengar Allah dan terkabul, sehingga pada suatu ketika datanglah seorang pelacur untuk menggoda Juraij, tapi karena Juraij orang yang ahli ibadah, maka dia tidak tergoda oleh rayuan sang pelacur, tapi karena Alloh hendak mewujudkan doa Ibu, maka sang pelacur mendekati penggembala kambing, lalu diajak berzina, maka dengan senang hati penggembala itu melayaninya, hingga akhirnya pelacur itu hamil, maka sang pelacurpun akhirnya berulah, yaitu dengan menyebar kabar fitnah kesuluruh warga bahwa anak yang dikandungnya adalah hasil perzinaan dengan Si Juraij.
Sebuah provokasi yang super sukses, semua warga terhasut mulut berbisa sang pelacur, sehingga akhirnya selurh warga mengahancurkan surau atau tempat ibadah Juraij sehingga rata dengan tanah.
Begitu pula halnya yang terjadi pada Alqomah, meskipun dia ahli ibadah juga, tapi hanya karena lebih mendahulukan memberi minum susu kepada anak dan istrinya, maka akhirnya Alqomah menderita saat sekaratul mautnya, karena sangat sulit untuk mati, menghembuskan nafas yang terakhir.
Singkat cerita, keduanya mendapat ampunan dari Ibunya, Juraij akhirnya terbukti tidak bersalah, yaitu setelah lahirnya bayi sang pelacur, maka sang bayi berbicara dan menunjuk siapa ayah sebenarnya ketika diminta untuk bersaksi, yaitu sang penggembala kambing, sehingga sebagai wujud penyesalan dan rasa bersalah yang mendalam, maka seluruh warga bergotong royong membangun kembali surau Si Juraij dengan yang lebih bagus dan indah, yaitu dari emas.
Begitu juga dengan Alqomah, akhirnya bisa mati dengan tenang, setelah Ibunya memaafkan kesalahanya, walau awalnya sangat berat dan sulit utk memaafkan kesalahan Alqomah, jangankan memaafkan, untuk bercerita tentang kesalahan Alqomaha saja keberatan, tapi sebuas buasnya harimau, tidak akan rela dan tega memakan anaknya sendiri, mungkin itu pribahasa yang tepat.
Melihat sahabat-sahabat Rosul mengumpulkan kayu bakar, dan telah siap dinyalakan untuk membakar Alqomah yang sulit untuk mati, maka akhirnya Ibunya memaafkan dan menceritakan kesalahan Alqomah.
TAFSIR PANGERAN KATON
(Tafsir Al-Isra' 23: Orang Tua, Lirkadoyo Pangeran Katon).
Waqadaa rabbuka allaa ta’buduu illaa iyyaahu wabialwaalidayni ihsaanan immaa yablughanna ‘indaka alkibara ahaduhumaa aw kilaahumaa falaa taqul lahumaa uffin walaa tanharhumaa waqul lahumaa qawlan kariimaan.
Artinya :
Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ah dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.
TAFSIR :
Setelah membicarakan orang-orang yang memburu dunia dan bakalan celaka dan orang-orang yang memburu akhirat dan bakalan bahagia, lalu menyambungnya dengan pemberian Tuhan kepada setiap titah, kini Allah SWT membicarakan derajat kedua orang tua yang mesti diagungkan setelah menyembah dan mengagungkan Tuhan.
Digunakan kata qadla yang artinya memutuskan, mewajibkan, memerintahkan sebagai pengantar pesan setelahnya. Hal itu menunjukkan bahwa pesan ayat ini sungguh sangat serius dan mutlak harus dikerjakan. Pesan pertama adalah jangan sampai menyembah kecuali selain Allah (allaa ta’buduu illaa iyyaahu).
Jika seseorang menyembah selain Allah, maka orang itu tidak ada hubungan dengan Allah dan silakan berhubungan dengan yang disembah itu. Karena sifat Tuhan adalah memberi, maka dia tetap diberi, kemauannya bisa saja dikabulkan. Tapi itu semua hanya sebatas pemberian kecil, pemberian terbatas, pemberian sesaat, pemberian duniawi belaka, bukan pemberian abadi yang agung and unlimited seperti surga dan segala kenikmatannya.
Bisa saja si kafir itu kaya raya, tapi tetap tidak bisa menikmati dunia sepenuhnya. Hanya yang dipakai, yang digunakan dan yang dimakan saja. Bisa saja dia sehat, senang, tapi ada batasnya, pasti jatuh sakit dan mati. Tidak ada orang yang bisa melawan ketuaannya sendiri, kerapuhannya sendiri, apapun usahanya. Sudahlah, menyerah saja, suka atau tidak anda akan dijemput kematian.
Kata qadla yang artinya keputusan, kepastian, itu menyiratkan makna alamiah yang pasti ada dan terjadi. Jika Tuhan mengatakan agar tidak menyembah selain Dia, maka itu artinya setiap orang pada dasarnya mengakui Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan. Sementara yang lain, yang disembah-sembah akan gugur dan diingkari sendiri secara otomatis.
Itu pasti terjadi pada waktunya nanti, paling akhir saat dia sedang menghadapi kematian. Pasti muncul kesadaran bahwa hanya Allah SWT saja yang Tuhan. Tapi sudah terlambat dan tidak ada guna. Kurang apa kekufuran raja Fir'aun, tidak saja mengingkari, melainkan mengaku dirinya sebagai Tuhan kelas tertinggi, sementara Allah SWT ada di level bawahnya.
Silakan bercongkak-congkak. Begitu sadar tidak ada harapan untuk hidup lagi dan pasti akan mati tenggelam di lautan, baru dia mengakui bahwa Allah SWT sebagai Tuhan. Padahal sebelumnya direndahkan. Keimanan Fir'aun tidak diterima dan itu juga bukan pertobatan, melainkan keterpaksaan.
"allaa ta’buduu illaa iyyaahu", dalam perspektif sufistik mengisyaratkan, bahwa semua ibadah dan kiprah orang beriman harus berorientasi Allah SWT saja. Sedikit saja ada orientasi selain Allah, maka tidak dianggap amal ibadah kepada-Nya, kosong tanpa pahala. Anda makan karena kebiasaan orang hidup harus makan, maka yang anda lakukan bukanlah ibadah, melainkan kebiasaan. Makan dan minum menjadi amal ibadah dan berpahala jika diniati ibadah, salah satunya adalah dengan baca basmalah lebih dahulu.
Wabialwaalidayni ihsaanan.
Umumnya ayat yang terkait dengan berbakti kepada orang tua, lazimnya pakai bentuk mutsanna (dua), al-walidain atau walidayya, ibu dan bapak. Ya, karena semua orang pasti punya ibu sekaligus punya ayah, apapun sifatnya, ayah biologis atau ayah formal. Kecuali terhadap nabi Isa ibn Maryam A.S., maka tesis yang dipakai hanya ibu saja. "wa barra bi walidaty" (Maryam: 32). Walidah adalah ibu, karena Isa hanya punya ibu dan tidak punya bapak.
Umumnya, pesan berbakti kepada kedua orang tua ini digandeng dengan kata ihsana, meskipun ada yang pakai kata "husna", atau kata "ma'rufa". Ihsan adalah kebajikan sosial, memberi kecukupan materi kepada kedua orang tua. Orang tua yang sudah udzur menjadi tanggungjawab anaknya. Karena itu, zakat tidak boleh diberikan kepada orang tua kandung, meskipun dengan alasan fakir atau miskin.
IBU GUSTI KANG KATON
Menurut pengalaman K.H. Bisri Mustofa. Payah opo kang disonggo dening ibu. Ngandut sangang wulan nuli dadi babu. Anyusoni, anyewoki, angedusi, ngisik-ngisik rino wengi tanpo risi. Mulo siro ojo wani marang ibu...(Kitab Akhlak Mitro Sejati karya K.H. Bisri Mustofa).
Syair (dunia pesanteren : syi’ir) tersebut saya kenal ketika masih kecil, kira-kira kelas tiga SD. Itu adalah kitab wajib yang dilalui para santri di langgar sebelah rumah saya. Namun, bagi saya sendiri saat itu menikmati bukan maknanya tetapi karena lagunya yang asyik untuk dinyanyikan. Seperti klangenan saat sepi, menggembala kambing bersama teman-teman sering menyanyikan bersama-sama. hitung-hitung sebagai persiapan hafalan malamnya.
Sya’ir yang ditujukan untuk anak-anak agar berbakti terhadap ibu yang telah ngandut itu sampai sekarang belum mampu saya cermati maknanya: ibu, siapa dia? Itulah pertanyaan yang sampai sekarang saya sendiri sulit mendefinisikan atau memang ibu tak mampu terdefinisikan karena luasnya kasihnya yang bagaikan mentari menyinari dunia itu.
Waktu kecil, bagi saya ibu adalah seorang perempuan yang tangannya cepat-cepat merengkuh saat saya menangis. Memberi makan saat aku kelaparan meski beliau sendiri belum makan. Orang yang cepat-cepat membela saya saat teman-teman nukari. Namun, ibu jugalah orang yang pertama mencubit saat saya saat rewel meminta sesuatu. Beliau pulalah memarahi, “mbondo’ tangan saya karena malas belajar dan mengaji. Walau saya tahu, ibu sendiri tidak bisa mengaji.
Naif kiranya, jika memaknai ibu hanya sekedar sebagai seorang perempuan yang sekedar melahirkan, memberi makan tanpa menyentuh tataran kasih-sayangnya, tangisnya saat anaknya kesusahan, tertawa saat sang bayi mulai berlatih bicara. Mungki juga ibu itu bukan fa’il malah sebailik ibu itu sifat (na’at). Sebab, tidak setiap perempuan bisa menjadi ibu, seperti kenyataan yang bisa kita simak di sekitar kita, ada ibu yang tega membuang bayinya, menyiksa anak-anaknya bahkan dengan teganya membunuh dengan alasan ekonomi atau yang lain.
Terlepas dari itu semua, ibu adalah perempuan yang dalam percaturan hidup sehari-hari lebih sering dicap sebagai “konco wingking”. Namun, pernahkah kita sadar bahwa kenyataannya ibu merupakan garda terdepan bagi anak-anaknya, keluarganya. Orang sejak pagi sampai malam tak pernah lelah ngopeni keluarga. Belum lagi jika seorang itu turut serta membantu mencari nafkah keluarganya. Pagi bersamaan azan subuh, mungkin ibu anda sudah bangun, pergi memasak, kemudian mempersiapkan makanan bagi keluarga.
Belum lagi kalau sang ibu punya bayi : masih memandikan anaknya. selepas itu, dia akan kembali lagi mencuci piring sisa yang telah dipakai anak-anaknya dan suaminya. Kemudian, bekerja membantu suaminya, pulang menjelang azan zuhur. Kembali lagi sang ibu mempersiapkan makan siang. Bekerja lagi hingga menjelang azan magirb berkumandang. Malam harinya, kesibukan semakin menyibukkan saja dan tak perlu ditulis di sini, pembaca pasti tahu maskud saya.
Begitulah seorang ibu, dengan ketabahan dalam mejalani kodrat keibuan, tanpa mengeluh dan tawar menawar dengan suaminya: gantian dong jadi ibu! Selayaknya jika ibu diberi tempat terhormat dalam agama dan kehidupan beragama. bahkan dalam sejarah kenabian, yang notabenenya laki-laki, tidak bisa lepas dari ibu. Hajar, ibunda nabi Ismail adalah orang yang begitu sayangnya dan melindungi beliau di tengah oro-oro arab yang kering kerontang. Di mana sang ayah tak berada di sisinya, ibunyalah satu-satunya orang yang bisa ditangisi disaat haus. Hingga akhirnya sang ibu berlari kesana-kemari mencari sumber air. Belum lagi, bagaimana sang ibu menghadapi segala tantangan kehidupan gurun.
Ibunnya Musa yang rela melarung beliau demi menyelamatkan dari swipping balatentara Fir’aun. Maryam, ibu Isa, yang semenjak kelahiran anaknya dengan rela merawat, menerima cibiran dari lingkungan karena melahirkan anak tanpa bapak. Bahkan sebelumnya, dia pernah bertanya pada Tuhan dengan lelaku yang akan dijalaninya. Tidak bisa dibayangkan bagaimana perasaan pada saat itu, jika wanita yang tak pernah tersentuh laki-laki, yang hidupnya dibaktikan hanya untuk Tuhan, tiba-tiba saja harus menerima amanah Ilahi. Namun, beliau adalah wanita yang dikasihi Tuhan, hidupnya “kumantel” dengan Tuhan, amanah diterima dengan senang hati dan rela menjalaninya. Aminah, ibunda Muhammad S.A.W, pun tak jauh beda dengan kisah ibu-ibu nabi yang lain. Aminah ditinggal “sedo” sang suami, padahal saat itu beliau lagi “ngandut”. Saat-saat perlindungan, belaian, dukungan dari suami sangat dibutuhkan. Namun kenyaataan beliau hidup sendirian dengan segala ketabahan ia jalani lelaku hidupnya.
Dalam cerita pewayangan, Dewi Kunthi adalah sosok keibuan yang penuh kasih. Dia harus merawat, melindungi pandawa dari segala ancaman teror, usaha pembunuhan di balai sigala-gala dari pihak kurawa. Hidupnya berpindah-pindah, masuk-keluar hutan di jalaninya. Dia setia mendampingi anaknya: di mana ada pendawa disitu ada Dewi Kunthi. Karena ketabahannya itulah akhirnya melahirkan trah biru, mewujudkan anak-anak yang berbakti dan mampu memangku buwono.
Ibu memang manifetasi (tajalli) Rahman-Rahim Allah. tanpa sifat welas-asih itu sangat tidak mungkin seorang ibu bisa disebut ibu dengan segala kodrat keibuannya. Tak ayal jika ada unen-unen: ibu adalah Gusti kang katon (ibu adalah Tuhan yang kelihatan). Unen-unen ini bukan berarti bahwa Tuhan menampakkan diri menjadi seorang ibu, tetapi lebih pada makna karena sifat welas-asihnya, kesediaannya mengayomi terhadap yang diemong menjadikan ibu adalah manusia yang menjadi cermin pemantul sifat-sifat Tuhan.
Ibu merupakan orang pertama dan sering kali disambati (dimintai pertolongan) sang anak. Kalau anda pernah menonton ludruk dengan lakon Syarif Tambok Yoso, keberadaan ibunya sangat menentukan sepak terjang perjuangannya. Syarif, dalam cerita tersebut, digambarkan sosok pejuang yang : dibacok ora tedas, diobong ora kobong, dibedil ora mecicil, disuduk mung mantuk-mantuk, ternyata kekuatannya bukan karena dia memiliki “pengandel” tetapi karena dia memiliki seorang ibu. Saat Syarif dirundung kesusahan, dalam perang, ibunyalah yang dipanggil. Luka yang hampir menyebabkan sekarat lenyap bersamaan dengan panggilannya terhadap ibu. Memang ini cerita yang mungkin saja ditambah-tambahi, namun alangkah baiknya kita ambil makna yang tersirat darinya.
Bagi kita yang mungkin kini sudah hidup enak, bergelimang harta, hidup di perantuan yang Lebaran kemarin tidak sempat sungkem atau Natal besok tidak ada waktu mengunjungi ibu atau pemakamannya, masihkah kita menyempatkan menyapa ibu meski dalam do’a ibadah ?
Meski hanya dalam mimpi tidur ? Apakah kita kalah dengan Syarif Tambak Yoso yang sedia menyebut ibunya dimana pun berada ?
Apakah kita sendiri yang akan membenarkan kata-kata kasih ibu sepanjang masa, kasih anak hanya sepanjang galah ?
Atau malah lebih parah lagi: wong tuwo sugih, anak dadi ratu, anak sugih, wong tuwo dadi babu ?.
Na’udzubillah.
HADIST RASULULLAH SAW TENTANG IBU
Ibu adalah orang yang paling berjasa dalam kehidupan kita. Ibu adalah orang yang telah melahirkan calon generasi terbaik di dunia ini.
Seorang ibu berjuang dengan nyawanya, merasakan sakit yang luar biasa dari ia mengandung, melahirkan, hingga membesarkan anak-anaknya.
Betapa jasa ibu tak akan pernah bisa kita balas, walau kita tukar dengan harta benda dunia.
Dalam Islam, betapa seorang Ibu begitu dimuliakan bahkan Rasullah SAW menyebutnya hingga 3 kali, kemudian baru ayah.
Hadist 1.
Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي
قَالَ أُمُّكَ. قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ. قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ. قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ
Artinya: “Dari Abu Hurairah, dia berkata, ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW dan bertanya: ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak aku perlakukan dengan baik?’ Rasul pun menjawab: ‘Ibumu’. ‘Lalu siapa lagi?’, ‘Ibumu’. ‘Siapa lagi’, ‘Ibumu’. ‘Siapa lagi’, ‘Ayahmu’.” (HR. Bukhari).
Hadits 2.
Dari Miqdam bin Ma’di Yakrib radhiallahu’ahu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda :
نَّ اللَّهَ يوصيكم بأمَّهاتِكُم ثلاثًا، إنَّ اللَّهَ يوصيكم بآبائِكُم، إنَّ اللَّهَ يوصيكم بالأقرَبِ فالأقرَبِ
“sesungguhnya Allah berwasiat 3x kepada kalian untuk berbuat baik kepada ibu kalian, sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada ayah kalian, sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada kerabat yang paling dekat kemudian yang dekat” (HR. Ibnu Majah, shahih dengan syawahid-nya).
Hadits 3.
Dari Atha bin Yassar, ia berkata :
عن ابنِ عبَّاسٍ أنَّهُ أتاهُ رجلٌ ، فقالَ : إنِّي خَطبتُ امرأةً فأبَت أن تنكِحَني ، وخطبَها غَيري فأحبَّت أن تنكِحَهُ ، فَغِرْتُ علَيها فقتَلتُها ، فَهَل لي مِن تَوبةٍ ؟ قالَ : أُمُّكَ حَيَّةٌ ؟ قالَ : لا ، قالَ : تُب إلى اللَّهِ عزَّ وجلَّ ، وتقَرَّب إليهِ ما استَطعتَ ، فذَهَبتُ فسألتُ ابنَ عبَّاسٍ : لمَ سألتَهُ عن حياةِ أُمِّهِ ؟ فقالَ : إنِّي لا أعلَمُ عملًا أقرَبَ إلى اللَّهِ عزَّ وجلَّ مِن برِّ الوالِدةِ
“Dari Ibnu ‘Abbas, ada seorang lelaki datang kepadanya, lalu berkata kepada Ibnu Abbas: saya pernah ingin melamar seorang wanita, namun ia enggan menikah dengan saya. Lalu ada orang lain yang melamarnya, lalu si wanita tersebut mau menikah dengannya. Aku pun cemburu dan membunuh sang wanita tersebut. Apakah saya masih bisa bertaubat? Ibnu Abbas menjawab: apakah ibumu masih hidup? Lelaki tadi menjawab: Tidak, sudah meninggal. Lalu Ibnu Abbas mengatakan: kalau begitu bertaubatlah kepada Allah dan dekatkanlah diri kepadaNya sedekat-dekatnya. Lalu lelaki itu pergi. Aku (Atha’) bertanya kepada Ibnu Abbas: kenapa anda bertanya kepadanya tentang ibunya masih hidup atau tidak? Ibnu Abbas menjawab: aku tidak tahu amalan yang paling bisa mendekatkan diri kepada Allah selain birrul walidain” (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, sanadnya shahih).
Semoga kita senantiasa menjadi anak yang selalu memuliakan ibu, setiap saat dan setiap waktu.