KISAH JONGBIRU KADHIRI
Tentang Kediri tidak lepas dari cerita penyerbuan tentara Tartar atau Mongol ke Pulau Jawa. Merujuk Babad Tanah Jawa, konflik berawal dari pemaksaaan Kaisar Mongol Kubilai Khan kepada Raja Singasari Kertanegara (1268-1292) untuk takluk. Kertanegara yang merupakan penguasa tanah Jawa diminta menyetor upeti, tapi langsung ditolak. Tak hanya menolak, mertua Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit tersebut, terang-terangan menyatakan melawan.
Seperti yang tertulis dari berbagai sumber sejarah. Kertanegara melukai utusan Kubilai Khan yang menemuinya di Kerajaan Singasari. Sebelah telinga utusan yang bernama Meng Khi itu, diirisnya. Pada bagian wajah juga ditandai dengan luka codet.
Kertanegara sengaja membiarkan Meng Khi pulang dalam keadaan hidup agar bisa bercerita, bahwa Raja Jawa tidak gentar menghadapi Kaisar Mongol. Peristiwa yang kemudian menjadi cerita tutur yang melegenda tersebut, berlangsung pada tahun 1289.
Kaisar Kubilai Khan murka. Penguasa tertinggi bangsa Mongol itu mengirim ekspedisi yang terdiri 20.000 tentara untuk meluluh lantakkan Jawa. Puluhan ribu pasukan melayari samudera. Pada tahun 1292, armada pasukan Mongol menjejakkan kaki di tanah Jawa.
Saat tiba, pasukan Mongol yang siap perang itu mendapati Kerajaan Singasari telah runtuh akibat serbuan Raja Jayakatwang, Kediri. Dalam kecamuk itu, Raja Kertanegara tewas terbunuh. Raden Wijaya, menantu Kertanegara yang selamat dari serbuan Jayakatwang, dengan cerdik mengarahkan pasukan Mongol yang mampir di Surabaya, untuk melabrak Kediri.
Kapal-kapal Mongol dialihkan ke Sungai Brantas menuju Kediri.
Pertempuran hebat antara pasukan Mongol dibantu Raden Wijaya dengan pasukan Jayakatwang Kediri, tidak terelakkan. Dalam waktu singkat, Kediri tumbang. Berbagai sumber sejarah juga menyebut, Raden Wijaya bersama pasukannya kemudian berbalik menyerang pasukan Mongol.
Ribuan tentara Tartar tercerai berai, dan konon sebagian besar melarikan diri ke arah utara. Raden Wijaya berhasil mengusir tentara Mongol dari tanah Jawa.
Sementara sebelum dipukul balik oleh pasukan Raden Wijaya, sebagian besar pasukan Mongol sempat bertahan cukup lama di wilayah yang saat ini sebagai Kota Kediri. Mereka lebih banyak berdiam di atas jung-jung (perahu besar Tiongkok).
Jung-jung tersebut bersandar di sebuah wilayah pinggir Sungai Brantas yang kelak dikenal dengan nama Jung Biru atau Jong Biru. Saat ini Jong Biru merupakan nama Desa di wilayah Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri. Jong Biru di kawasan Sungai Brantas dulu merupakan dermaga pelabuhan kapal-kapal besar menyandar lokasinya sebelah utara Kelurahan Semampir, Kota Kediri.
Jongbiru merupakan pelabuhan jaman kerajaan Kadhiri kuno sebelum wangsa Isyana yang hilang karena perubahan alam menyusutkan sungai Brantas. Jaman dulu kapal-kapal besar bisa masuk seperti lalu lintas armada perdagangan hingga armada kapal perang, sehingga Khadiri banyak didatangi para pemberani pengelana dari belahan dunia lain seperti, belahan benua Asia, Eropa, Arab, Afrika bahkan belahan yang lain tidak banyak disorot karena tidak adanya bukti-bukti ataupun cerita-cerita rakyat.
Sekilas tentang Jong pernah mendengar nama Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, dan Jong Ambon.
Di Kadhiri kuno jaman kerajaan dulu ada sebutan serupa yaitu Jongbiru. Meski sama-sama berawalan jong, Jongbiru tidak ada kaitannya dengan Jong sebagai kumpulan perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Jongbiru adalah sebuah desa di Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri. Letaknya berada di tepi Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas yang berbatasan dengan Kota Kediri. Tepatnya, di kiri-kanan Jembatan Mrican, dekat Pabrik Gula Mrican.
Meski sekarang tampak tak ada yang istimewa, siapa sangka jika di Jongbiru pernah berdiri sebuah pelabuhan besar. Di masa kerajaan, keberadaannya menjadi tempat bersandarnya kapal dagang Jawa kuno. Kawasan inilah yang menghubungkan beragam kegiatan perdagangan. Baik itu antara masyarakat pedalaman dengan masyarakat pesisir maupun aktivitas antarbangsa di masa lalu.
Jongbiru mulai difungsikan pada zaman Raja Airlangga Kerajaan Kahuripan, lalu berlanjut di era raja setelahnya. Mulai dari Jayabaya, Kertajaya, dan Jayakatwang dari Kerajaan Kadiri, serta Hayam Wuruk hingga raja-raja di akhir keruntuhan Majapahit. Saking pentingnya dermaga ini bagi kerajaan, nama Jongbiru dicantumkan dalam karya-karya sastra kuno. Di antaranya, Kidung Sundayana, Kidung Ranggalawe, dan Kidung Panji Wijayakrama.
Penyebutan Jong berasal dari kata tanjung yang berarti tanah yang menjorok ke perairan.
Sedangkan kata biru merupakan identifikasi masyarakat berdasarkan kearifan lokal. Sebab, penggunaan unsur warna untuk menyebut sebuah pelabuhan tidak hanya Jongbiru saja.
Ada juga Jong Abang, yang kemudian dikenal dengan Jombang. Pelabuhan sungai di Jombang diperkirakan berada di Kecamatan Megaluh, letaknya di Jombang sebelah utara. Secara toponimi, nama Megaluh kemungkinan masih ada berkaitan dengan Ujung Galuh, pelabuhan besar yang juga menjadi pangkalan militer Kerajaan Kadhiri.
Baik Jongbiru maupun Megaluh berada di aliran Sungai Brantas yang berkelok tajam atau meander, itu tanda jika disitu dulunya pelabuhan kuno.
Dalam berbagai penemuan, di aliran Brantas yang berbentuk meander inilah biasanya banyak bertebaran benda-benda arkeologi. Sebab, kawasan tersebut dulunya menjadi daerah ramai. Selain transportasi, juga menjadi pusat perdagangan komoditas pertanian. Sehingga tak heran jika di Jongbiru beberapa kali sempat ditemukan tembikar, logam, dan koin. Bukan tidak mungkin juga ada kapal karam.
Sayangnya, hingga kini belum banyak ditemukan peninggalan berupa bangkai kapal. Padahal dalam Prasasti Dhimanasrama di zaman Mpu Sindok abad 11, disebutkan terdapat 50 jenis perahu yang menjadi moda transportasi. Contohnya parahu pakbowan atau rakit bambu yang dipasang di kiri-kanan perahu supaya tidak oleng, atau jenis perahu lain misalnya parahu ikang langkapan wlah galah, panawa, jurag, panggagaran, pawalian, dan pangngyan. Seperti apa bentuk kendaraan air yang dipakai ketika itu belum banyak diketahui.
Ada bukti bentuk kapal yang kemungkinan bersandar di Jongbiru salah satunya bisa dilihat di pahatan relief di pandapa teras luar Candi Penataran. Sungai Brantas dulu memang bisa dilalui kapal besar. Tenaga penggeraknya berupa layar dan dayung renteng. Sehingga, bisa dibayangkan betapa besarnya dermaga Jongbiru kala itu.
Pelabuhan Jongbiru berangsur-angsur ditinggalkan seiring meredupnya kekuasaan Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1527, pasukan Kerajaan Demak dipimpin Sultan Trenggono berhasil memusnahkan ibu kota Majapahit yang saat itu berada di Daha, Kediri. Jongbiru, pelabuhan yang beroperasi sebagai sandaran transportasi dan perdagangan selama 5 abad, ikut dihancurkan.
JONGBIRU (versi 2)
Jongbiru dulu tempat berlabuh perahu tartar/mongol yang dinamakan jung berwarna biru. Lokasinya berada di sebelah selatan jembatan Mrican. Artinya tentara yang kulitnya biru ke ungu-unguan. Pasukan Raja Kelana Swandana dari India yang juga mendarat disini untuk melamar puteri Kediri. Jadi putri Kadhiri itu cantiknya tersohor sampai dipelosok manca negara termasuk raja jin pun terpesona. Lembu Suro waktu melamar putri Kadhiri diuji kesaktiannya membuatkan sumur dari atas Gunung Kelud dan dalam waktu semalam harus selesai. Karena dia sakti maka menjelang subuh pekerjaan itu hampir selesai untuk menggagalkannya maka rakyat Kediri memukul-mukul lesung agar hari sudah dikira siang.
Lembu Suro marah lalu mengkutuk perbuatan rakyat mbumi Kadhiri & sekitarnya :
1. Kediri jadi kali (tiap tahun dulu Kediri selalu banjir).
2 Blitar jadi latar (kota Blitar rata tertimbun pasir letusan gunung kelud).
3. Tulungagung jadi kedung/kolam (juga banjir).
Berita mengenai pembatalan perkawinan antara putra mahkota Jenggala dengan putri Kediri telah tersebar luas. Kemudian banyak para raja yang datang untuk melamar. Akan tetapi semua hanya diterima secara basa basi, belum ada yang diterima secara pasti. Namun para prajuritnya tidak diperkenankan menyeberang ke sebelah barat sungai, sebab wujudnya menakutkan, warna kulitnya hitam kebiru-biruan, serta giginya putih. Sehingga orang Kadhiri akan ketakutan bila melihatnya. Apabila ada yang melanggar akan dihukum. Orang-orang Hindu tersebut di Kediri dinamakan bangsa jong, maka tempat peristirahatannya dinamakan pesanggrahan Jongbiru, sebab merupakan tempat peristirahatan bangsa Jong berkulit biru. Selanjutnya bekas tempat peristirahatan tersebut menjadi desa yang dinamakan Desa Jongbiru.
CERITA JONGBIRU (versi 3)
Sejarah misteri terpendam di balik kerajaan cina.
Cerita ini fiktif atau tidak dari sumber kurang tahu, hanya saja menurut narasumber petua cerita turun temurun di salah satu desa di Kediri yang dikutip di sini sebagai referensi melengkapi judul diatas.
Dahulu, dermaga sungai Brantas sangat ramai di kunjungi para saudagar dan pedagang asia, pada jaman dahulu ada pasukan Bar-Bar datang, entah dari mana, mereka ingin punya lahan di Kediri.
Di zaman itu pula bahwa pasukan Cina juga mengingikan lahan tanah di Kediri, dengan bujukan pasukan Cina akhirnya pasukan Kediri menyerang pasukan Bar-Bar yang berlabuh di Jong (Jong Biru) dan pada saat itu pasukan Bar-Bar berpesta minum dan wanita (semampir). Pasukan Bar-Bar pun tewas di bantai pasukan Kediri dan Cina, Pimpinan pasukan Bar-Bar mengerti bahwa ini siasat Cina untuk menginginkan tanah Kediri. Saat kekalahan itu, dia bersumpah dan di abadikan di sebuah papan agar di ingat pasukan serta warga Kediri yang bunyinyi jangan smpai tanah (Jong Biru) di Kediri di beli org Cina, bila di beli mereka akan jadi sbuah kerajaan cina.
benar atau tidak sejarah ini, tapi ini kenyataan.
Kerajaan itu adalah Gudang Garam yang luasnya tak terkira, pemiliknya orang cina dan sangat kaya raya.